![]() |
Ilustrasi menggunjing, sumber Jatim Times |
"SAYA sudah bayar," jawab seorang warga dengan nada sedikit kesal, sembari menunjukan SPPT bukti pelunasan pembayaran pajak ke Operasi Kejar Pajak (Opjar).
Kekesalan itu nampaknya begitu berdasar, lantaran dirinya dituding berutang pajak tahun 2018 lalu. Padahal dirinya mengaku tak pernah nunggak tiap tahunnya.
Begitu sedikit cerita tentang perpajakan di Lombok Timur. Tak heran jadi bahan gunjingan semua pihak.
Kenaikan pajak di Lotim sejatinya terjadi tahun 2024 lalu. Kendati baru kali ini jadi bahan gunjingan, bahkan sampai bahan untuk tuntutan aksi.
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi. Perda ini berlaku tahun 2025, sebagai induk dari jenis-jenis pajak.
Hal ini bisa dilihat pada Peraturan Bupati (Perbup) Lombok Timur Nomor 9 tahun 2024 tentang Pedoman Pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Pedesaan tertanggal 18 Maret 2024.
Pasal 2 ayat 2 menerangkan pengenaan pajak adalah NJPK. Pasal 2 ayat 3 NJPK berdasarkan NJPK sama dengan NJOP dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
Pasal 2 ayat 4 peraturan itu menerangkan pembayaran presentase tertentu sebagaimana dimaksud ialah a) 50 persen untuk wajib pajak pribadi, b) 80 persen untuk wajib pajak badan atau objek pajak non standar (khusus), dan c) 25 persen untuk objek pajak lahan produksi pangan dan ternak.
Jadi wajar jika Bupati Lombok Timur, baru menjabat 5 bulan mengatakan tak pernah menaikan pajak bahkan menurutnya hal itu sebuah berita keliru yang perlu diluruskan. Dia meminta jangan salah tafsir.
“Hanya kenaikan pendapatan, bukan kenaikan pajak,” tegas Bupati, ditemui awak media di sela kesibukannya beberapa waktu lalu.
Biasanya kata dia, pada tahun 2022 sampai 2024, rata-rata pendapatan pajak hanya Rp 600 juta per tahun. Namun kini, dalam waktu satu bulan, penerimaan bisa mencapai Rp 6 miliar.
Justru diakuinya, adanya kebijakan berupa pemberian keringanan berupa penghapusan denda keterlambatan pembayaran.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI, Lombok Timur memiliki piutang pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) mencapai Rp 55 miliar dalam kurun waktu tahun 2014 hingga 2024.
Iron seperti lempar handuk, menurut mereka penyesuaian nilai pajak dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah pusat melalui penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
"Saya justru berusaha meringankan beban masyarakat, terutama dengan membebaskan denda bagi wajib pajak yang menunggak,” ucapnya.
Sementara itu, Sekda Lombok Timur, Muhammad Jauini Taofik, beralasan kenaikan pajak yang begitu tajam karena lebih dari 15 tahun Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai dasar penentuan besaran tarif pajak tidak pernah refresh.
“Kita kebetulan lima belas tahun tidak pernah refresh harga nilai jual objek pajak,” terang Pj Bupati Lotim itu disampaikan kepada awak media di sela pembukaan TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) di Lapangan Gelora Sikur, Rabu, 24 Juli 2024. Dia mengungkapkan, penghitungan pajak itu semuanya mengacu pada NJOP. “Rumus menghitungnya ada di Bapenda (Badan Pendapatan Daerah -red)),” terang Juaini Taofik, saat masih menjabat Pj Bupati Lotim, seperti dikutip dari Suara NTB.
Jika dilihat dalam perhitungan yang pajak yang dulunya hanya Rp 7 ribu, sejak terbit dua peraturan itu kenaikannya cukup tajam yakni bekisar Rp 100 ribu.
Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) PBB P2 Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Lotim, M Tohri Habibi, menegaskan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bukanlah penentu besaran pajak, melainkan hanya dasar perhitungan saja.
Dia mencontohkan, misalnya satu bidang tanah di Lombok Timur, NJOP nya ditentukan berdasarkan harga rata-rata tanah, bukan harga beli.
"Bisa saja harga beli lebih tinggi atau rendah, tapi yang dipakai adalah harga rata-rata,” ungkap Tohri.
Besaran nilai pajak dipengaruhi banyak faktor seperti luas lahan, luas bangunan, jenis konstruksi, penggunaannya, hingga tarif pajak.
Semisal tanah seluas 10 are dengan NJOP tertentu akan berbeda pajaknya dengan tanah hanya 1 are, meskipun berada di lokasi yang sama. Dari sisi luas sudah beda, belum lagi dari bangunannya.
Atau sebuah bangunan, media tembok berbeda nilainya dengan kayu, atap spandek berbeda dengan genteng keramik.
"Semua itu dihitung oleh petugas berdasarkan ketentuan yang ada,” jelasnya.
Masih kata Tohri, data mengenai bangunan dan fasilitas dimuat melalui Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang wajib diisi oleh wajib pajak sendiri. Namun karena jumlah wajib pajak di Lombok Timur mencapai sekitar 450 ribu, pengelolaan data dilakukan secara aplikasi agar lebih efektif.
Ia mengakui, sering terjadi perbedaan data antara kondisi di lapangan dengan yang tercatat di Bapenda. Hal inilah yang membuat pajak antar warga yang bertetangga bisa berbeda, meski luas tanah aslinya sama.
Masalah itu muncul karena data lama tidak di updated. Semisal ada warga yang sudah menjual sebagian tanahnya, tapi di data Bapenda masih tercatat luas awal.
"Akhirnya pajak yang dikenakan juga lebih besar. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk rutin memperbarui data di Bapenda,” tegasnya.
Wakil Bupati Lombok Timur, H Moh Edwin Hadiwijaya, justeru melihat persoalan tunggakan piutang pajak di Lotim bermuara pada masalah data. Setelah tim Opjar turun, tak jarang menemukan pajak telah terbayarkan pada tahun berjalan, lantaran itu menurut dirinya harus segera diselesaikan.
"Saya ajak OPD untuk sama-sama perbaiki, mereka punya aplikasi namanya My Pendataan itu akan kita optimalkan," ucap Edwin kepada awak media, belum lama ini.
Ada beberapa persoalan yang ditemukan oleh tim seperti induknya sudah di pecah, tidak punya SPPT, obyek pajak sudah tidak ada dan juga sudah bayar namun terdeteksi belum.
Setidaknya sebanyak 400 ribu data SPPT pajak bumi dan bangunan (PBB) yang harus di updated. Jumlah itu menurut Edwin, bukan angka yang kecil.
Wabub mengaku telah mendatangi OPD terkait, hingga melihat sampai ke server. Alhasil, data di sistem dengan data fisik yang dibawa ke lapangan.
Tapi, dia mengaku, sudah dapat gambaran kearah mana akan dilakukan perbaikan perbaikan.