Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Menggugat Moralitas dan Kuasa: Refleksi Kaprodi KPI IAIH Pancor atas Kasus Pelecehan di Lembaga Pendidikan Keagamaan

Kamis, 24 April 2025 | April 24, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-04-24T23:40:01Z
Daeng Sani Ferdiansyah


Oleh Daeng Sani Ferdiansyah, Kaprodi KPI IAIH Pancor


Baru-baru ini, kita dikejutkan lagi oleh berita memilukan seorang pimpinan pondok pesantren di Lombok diduga melakukan pelecehan seksual terhadap santriwatinya. Tragedi ini bukan hanya soal hukum dan pidana, tetapi soal luka moral dan krisis nilai yang lebih dalam. Saya sebagai Kaprodi KPI IAIH Pancor, saya merasa terpanggil untuk menyuarakan keprihatinan, sekaligus mengajak masyarakat untuk melakukan refleksi kritis terhadap wajah pendidikan keagamaan kita hari ini.


Lembaga Pendidikan Keagamaan dalam Pusaran Kuasa


Pondok pesantren selama ini identik dengan tempat mendidik akhlak, membentuk karakter, dan menyemai nilai-nilai keislaman. Namun, kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkungan pesantren, terutama oleh mereka yang memiliki otoritas tertinggi, menunjukkan adanya paradoks serius, lembaga yang seharusnya menjadi benteng moral justru menjadi ruang yang tak aman bagi sebagian santri.


Kasus ini bukan yang pertama. Kita sudah terlalu sering mendengar kabar serupa di berbagai daerah dan ini menunjukkan adanya pola. Ada relasi kuasa yang timpang antara santri dan kiai, antara murid dan guru, antara yang dianggap suci dengan yang dianggap harus patuh. Relasi ini menjadi tanah subur bagi kekerasan seksual, apalagi ketika dilindungi oleh dinding tabu, budaya diam, dan glorifikasi terhadap figur otoritatif.


Komunikasi, Kuasa, dan Kekerasan Simbolik


Dalam perspektif komunikasi, relasi antara kiai dan santri bukan sekadar relasi pembelajaran, melainkan juga relasi simbolik yang penuh dengan makna. Ketika seorang kiai melakukan pelecehan, ia tidak hanya melakukan kejahatan fisik, tetapi juga kekerasan simbolik menghancurkan kepercayaan, menodai kehormatan agama, dan melanggengkan ketakutan dalam ruang yang seharusnya mendidik.


Kekerasan simbolik ini seringkali tidak terlihat, namun dampaknya jauh lebih dalam. Santri yang menjadi korban sering mengalami trauma berkepanjangan, merasa bersalah, merasa tak akan dipercaya jika bersuara, dan lebih menyedihkan lagi, merasa bahwa dirinya berdosa karena menentang “tokoh suci.”


Sebagai pendidik di bidang komunikasi Islam, saya melihat ini sebagai kegagalan bersama. Kegagalan untuk membangun komunikasi yang setara, kegagalan mendidik tentang hak tubuh dan batas privasi, serta kegagalan menghadirkan keberpihakan yang tegas terhadap korban.


Mengapa Kita Harus Berani Bicara?


Selama ini, kasus-kasus seperti ini sering ditutup-tutupi. Korban dipaksa diam atas nama-nama baik pondok. Masyarakat enggan membahasnya secara terbuka karena takut dianggap menyerang agama. Namun, diam adalah bagian dari kekerasan itu sendiri. Diam berarti membiarkan kekuasaan yang merusak itu terus beroperasi dalam senyap.


Kita harus berani bicara, karena ini soal nyawa, martabat, dan masa depan generasi. Kita tidak bisa lagi menyembunyikan kekerasan di balik simbol-simbol agama. Agama bukan pelindung pelaku, agama adalah pembela korban. Rasulullah SAW pun mengajarkan untuk berpihak kepada yang dizalimi, bahkan jika itu melawan orang yang kita kagumi sekalipun.


Saya ingin menegaskan keberanian bicara bukan berarti membenci pesantren atau mencoreng Islam. Justru ini adalah bentuk cinta yang paling jujur dan cinta yang berani menegakkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang diajarkan agama.


Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan Tinggi Islam


Sebagai bagian dari institusi pendidikan tinggi Islam, kami di Prodi KPI IAIH Pancor merasa memiliki tanggung jawab besar. Tanggung jawab untuk tidak hanya mencetak lulusan yang paham teori dakwah, tapi juga mampu bersuara lantang melawan ketidakadilan dan kekerasan.


Kami mendorong agar kurikulum pendidikan Islam lebih peka gender dan adil dalam membahas relasi kuasa. Materi komunikasi dakwah harus berbicara tentang etika komunikasi, kekerasan dalam simbol agama, dan pentingnya keberpihakan terhadap kelompok rentan. Mahasiswa harus diajak berdiskusi secara kritis, bukan sekadar menghafal.


Lebih jauh, kami juga akan mendorong kolaborasi dengan lembaga perlindungan anak, psikolog, serta aktivis perempuan dan hak asasi manusia, untuk memperkuat pemahaman mahasiswa tentang kekerasan seksual dan mekanisme perlindungannya.


Menyerukan Gerakan Kultural Baru di Pesantren


Sudah saatnya pesantren membuka ruang diskusi tentang kekerasan seksual. Harus ada kode etik perlindungan santri yang jelas dan bisa diakses semua pihak. Harus ada pelatihan bagi para pengasuh tentang bagaimana membangun relasi mendidik yang sehat dan tidak menyalahgunakan kuasa.


Kita juga butuh audit moral. Bukan sekadar audit keuangan atau administrasi. Siapa saja yang berada dalam struktur otoritas pesantren harus dipastikan memiliki rekam jejak yang bersih dan memiliki komitmen pada keselamatan anak didik.


Para santri, khususnya santriwati, harus diberi pendidikan tentang hak-hak tubuh, batasan sentuhan, dan bagaimana cara melapor jika terjadi pelanggaran. Ini adalah bagian dari tanggung jawab kolektif untuk menjadikan ruang keagamaan sebagai ruang yang benar-benar aman dan sehat.


Penutup: Saatnya Kita Memihak


Akhir kata, saya ingin mengajak seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh agama, pendidik, dan orang tua untuk tidak ragu berpihak kepada korban. Jangan biarkan simbol keagamaan menjadi benteng impunitas bagi pelaku kekerasan. Jangan biarkan kuasa membungkam kebenaran.


Mari kita ubah paradigma: kesalehan tidak bisa diukur dari seberapa tinggi jabatan keagamaan seseorang, tapi dari seberapa ia menjaga martabat manusia lain. Jika kita diam hari ini, kita sedang menanam bibit kekerasan yang lebih ganas di masa depan.


Pendidikan agama harus membebaskan, bukan menindas. Pesantren harus menjadi ruang tumbuh, bukan ruang trauma. Dan kita semua, sebagai bagian dari komunitas muslim yang cinta akan nilai-nilai luhur, harus berdiri tegak menyuarakan, tidak ada tempat untuk kekerasan seksual di ruang manapun, apalagi di ruang yang mengatasnamakan Tuhan.

×
Berita Terbaru Update