![]() |
Rifqi salah seorang penyandang disabilitas di Kabupaten Lombok Timu. (Foto/Halamankita.com) |
SELONG, Halamankita.com - Fasilitas yang aksesibel di Lombok Timur terbilang masih minim. Hanya beberapa tempat saja yang menyediakan akses itu.
Tak hanya itu, keberadaan mereka juga jarang masuk kedalam diskusi-diskusi pemerintah, kalau pun ada hanya bentuknya sebatas perbincangan warung kopi.
Ditemui halamankita.com, hari Sabtu (08/03/2025) disebuah acara, salah seorang penyandang disabilitas, Rifqi mengatakan, Lotim sendiri dengan angka penduduk 1,4 juta, penyandang disabilitas mencapai 130.781 atau 9 persen. Data tersebut dari usia 5 hingga 70 tahunan.
"Untuk penyandang disabilitasnya sendiri saya gunakan data tahun 2022," kata Rifqi kepada belum lama ini.
Dia mengatakan, mereka ada yang belum bisa mengakses pendidikan ada juga yang sudah.
Bagi penyandang disabilitas yang usia 30 tahun keatas sebagian dari mereka sudah mengenyam pendidikan. Meski kadang SD, SMP, maupun SMA.
Sehingga, kata dia, jika mau akses dunia kerja melalui penyetaraan. Kendati diakuinya tak bisa diakses secara detail.
Sebenarnya, ucapnya, sesuai regulasi sudah diberlakukan ketersediaan kuota bagi mereka. Namun tak bisa tercover akibat dari keterbatasan pendidikan.
Dirinya mengaku belum mengetahui fasilitas untuk penyandang disabilitas disekolah umum. Sebab, kata dia, jika bicara fasilitas dan pelayanan, setiap jenis disabilitas bakal memerlukan treatment yang berbeda pula.
Namun demikian, paling tidak ada pelayanan yang sifatnya mobile di setiap kecamatan. Yang mampu memberikan pelayanan sesuai kebutuhan.
Tak hanya akses pendidikan, tapi juga di fasilitas umum disebutnya masih minim dan hanya bisa diakses oleh sebagian orang.
"Kalau di instansi sudah mulai dibangun fasilitas yang aksesibel," beber Rifqi.
Namun demikian, imbuhnya, mungkin karena pembangunannya tidak melibatkan penyandang disabilitas jadi sulit untuk diakses karena tidak sesuai standar inklusifitas yang ditentukan.
Mengacu pada standar pembangunan di Dinas PU, sebutnya, secara regulasi sudah ada kriteria nya. Mulai diatur tingkat kemiringan, ketinggian, panjangnya, tempat handrail sebagai alat bantu pegang, penunjuk arah bagi tuna betra, dan sign board untuk rungu.
Dia berharap, adanya data yang memiliki verval By Name By Address (BNBA) agar haknya bisa terakomodir.
"Tidak hanya di dunia pendidikan tapi juga layanan di desa agar bisa menerima pelayanan aksesibel bagi mereka," ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPRD Lombok Timur, Saipul Bahri, mengakui belum masuk ke ranah diskusi kebijakan. Hanya saja sebatas pembicaraan yang non formal. Namun demikian diskusi-diskusi itu, kata dia, bakal disampaikan ke DPRD yang lainnya.
"Ini sebagai bentuk kepedulian kita, karena memang lagi-lagi kita bicara anggaran," pungkasnya.